LANJUTAN BAGIAN EMPAT: Kitab Tabaqat al-Khawash Menjadi Saksi Upaya Singkronisasi Nasab Ba’alwi
LANJUTAN BAGIAN EMPAT:
Kitab Tabaqat al-Khawash Menjadi Saksi Upaya Singkronisasi Nasab Ba’alwi
Setelah terjadinya
perpindahan jalur nasab ke atas Ba‘alwi dari Aon bin Musa al-Kadzim bin Ja‘far
al-Shadiq menuju Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidi bin Ja‘far
al-Shadiq, maka teori Ubaid sebagai satu kakek dua keluarga Ba‘alwi dan
Al-Ahdal menjadi rancu. Teori awal bahwa antara keduanya benar-benar sepupu
dekat
(satu kakek) di sosok Ubaid kini berpindah kepada
Ja‘far al-Sahdiq yang merupakan kakek ke tujuh dari Ubaid. Hal demikian
memerlukan jalan keluar. Maka dalam kitab Tabaqat
al-Khowas Ahl al-Shidqi wa al-Ikhlash karya Ahmad bin Ahmad al-Syarji
al-Zabidi (w. 893 H.) kita dapat menganalisa adanya upaya singkronisasi itu
melalui penambahan isi kitab tersebut antara versi cetak dan versi
manuskrip.
Versi cetak kitab Tabaqat al-Khawash yang hari ini beredar diterbitkan oleh Al-Dar
al-Yamaniyah tahun 1986. Versi cetak tersebut tidak menyebutkan dicetak
berdasarkan manuskrip tahun berapa. Sepertinya ia dicetak berdasarkan versi
cetak tahun 1321 H. dari penerbit Al-Mathba‘ah al-Maimanah al-Mishriyyah.
Ketika kita telusuri versi cetak tahun 1321 H. itu, ternyata ia pun tidak
menyebutkan dicetak berdasarkan mansukrip tahun berapa. Dalam versi cetak itu
dikatakan bahwa kesepupuan antara Ba‘alwi dan AlAhdal bukan sepupu dekat (satu
kakek), tetapi sepupu jauh bertemu di Ja‘far al-Shadiq. Perhatikan redaksi
kitab Tabaqat al-khawas versi cetak (h. tersebut di bawah ini:
قدم جده محمد ات١ذكور من العراق ىو وابنا عم لو
على قدم التصوف. فسكن بناحية الوادي سهام، وذىب أحد ابتٍ عمو إلى نًحية الوادي
سردد. وىو جد ات١شايخ بتٍ القديدي، وذىب الثالث الى حض رموت، وىو جد ات١شايخ آل
باعلوي ىنالك ،ونسبو ونسب بتٍ عمو يرجع إلى اتٟستُ بن علي بن أبي طالب رضي الله
عنه، ذكر ذلك الفقيو حستُ الأعدل في تًريخو، وذكر
الفقيو محمد ات١دىجن القرشي في كتابو جواىر
التيجان في أنساب عدنًن وقحطان، ان الاشراف
بتٍ القديدي وبتٍ البحر وبتٍ ات١بحصي وبتٍ الاحجن وبتٍ قعيش - يرجعون في النسب الى الاشراف
اتٟسينيتُ بالتصغتَ، وىم أولاد واحد. وان الاشراف
بتٍ الأىدل وآل باعلوي يجتمعون في جعفر
الصادق، وىذا ىو الأصح انتهى وكان الشيخ علي صاحب التًتٚة...
Perhatikan kalimat yang yang
bergaris bawah itu tidak terdapat dalam versi manuskrip tahun 1070 H. seperti di
bawah ini:
Di bawah ini
halaman terakhir dari manuskrip Tabaqat alkhawas yang menunjukan tahun 1070
H.
Di bawah ini halaman pertama
manuskrip kitab Tabaqat alKhawas:
Halaman tersebut
menunjukan bahwa manuskrip tersebut disalin oleh Abdul Hadi bin Abdullah bin
Dawud al-Zabidi tahun 1070 H. terdapat di King Saud University dapat diakses
melalui: https://makhtota.ksu.edu.sa/makhtota/2992/4 .
Dari perbedaan versi
cetak dan versi manuskrip itu kita bisa jelaskan bahwa dalam versi manuskrip
antara Ba‘alwi dan Al-Ahdal hanya disebutkan sama-sama keturunan Husain.
Sedangkan dalam versi cetak yang diterbitkan oleh Al-Dar al-Yamaniyah tahun
1986 M. ditambahi keterangan bahwa keduanya bertemu di kakek bersama yaitu
Ja‘far al-Shadiq. Penambahan atau interpolasi bahwa keduanya bertemu di kakek
bersama Ja‘far ini adalah upaya mensinkronkan jalur silsilah Ba‘alwi yang
berubah dari Musa al-kadzim bin Ja‘far alShadiq kepada Ali al-Uraidi bin Ja‘far
al-Shadiq. Karena jika tidak ada penambahan itu, maka perubahan jalur silsilah
itu terlihat lucu. Di mana, dua saudara sepupu (satu kakek) kemudian
silsilahnya berbeda. Dengan penambahan itu, maka dikesankan bahwa kalimat ―ibnu
al
‗am‖ (sepupu) itu, maksudnya bukan sepupu dekat (satu
kakek) tetapi sepupu jauh. Lalu siapa yang menambahi manuskrip itu? tentu ia
yang berkepentingan.
Klaim bahwa ―ibnu
‗am‖ (sepupu) yang dimaksud adalah sepupu jauh tertolak oleh adanya ibarat
Husen al-Ahdal (w.855 H.) sebagaimana di bawah ini:
وحكي لنا عن بعضهم ان محمد ات١ذكور خرج ىو واخ
لو وابن عم فعمد اخوه وابن عمو الى الشرق فذريتو ال با علوي في
حضرموتٗٔٔ
Terjemah:
―Diceritakan kepada kami dari sebagian orang, bahwa
Muhammad (bin Sulaiman) tersebut keluar (berhijrah) bersama saudara laki-laki
dan saudara sepupunya. Kemudian saudara laki-laki dan saudara sepupunya itu
menuju timur. Maka keturunan dari saudara sepupunya itu adalah keluarga Ba‘alwi
di Hadramaut‖
Kalimat “Akhun lahu wabnu „ammin” (saudara
laki-laki miliknya dan anak paman) terdapat kalimat yang menghalangi ―ibnu ‗am‖
dimaknai sepupu jauh, yaitu kalimat ―akhun lahu‖ (saudara lakilaki miliknya).
Lafad ―lahu‖ (miliknya) walau tidak diulang pada kalimat ―ibnu ‗am‖, tetapi
dianggap diulang karena adanya huruf athaf (penyambung) sebelum lafad ―ibnu
‗am‖. Apalagi jika kita melihat adanya nama-nama yang sama antara keluarga
Ba‘alwi dan Al-Ahdal yaitu nama-nama: Ubaid, Isa, Muhammad dan Alwi, nama-nama
itu walau kemudian susunan urutannya berubah, tetapi mengindikasikan bahwa
susunan yang ada hari ini berasal dari sumber yang sama. Betapapun usaha yang
rumit seperti di atas telah dilakukan tetapi kedua keluarga ini tidak bisa
untuk menyambungkan nasab mereka kepada Nabi Muhammad SAW, karena ketiadaan
sumber-sumber
411
Al-Husain bin Abdurrahman bin Muhammad al-Ahdal, Tuhfat alZaman fi Tarikh Sadat al-Yaman (Maktabah al-Irsyad,
San‟a, 1433 H.) juz 2 h. 238
kitab-kitab nasab yang mengkonfirmasi kesahihan
nasab mereka. Kitab-kitab nasab yang berjejer dari abad ke empat sampai
sembilan tidak mengkonfirmasi nasab mereka. Susunan nasab kedua keluarga ini
hanya bisa mulai dikonfirmasi pada abad ke-9 dengan berbagai ketidaksinkronan
yang sulit untuk diterima.
Berita Hijrah Muhamad bin Sulaiman Menjadi Tidak Singkron Husain al-Ahdal (w.855 H.), dalam kitabnya Tuhfat al-Zaman menyebutkan, bahwa
kakeknya yang bernama ‗Ali al-Ahdal itu adalah putra dari Umar bin Muhammad bin
Sulaiman. [1]‗Ali
bin Umar alAhdal ini disebut oleh Al-Janadi dalam kitab Al-Suluk wafat tahun 690 Hijriah.[2]
Sedangkan Muhammad bin Sulaiman wafat tahun 540 Hijriah, sebagaimana disebut
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
Zabarat al-Son‘ani (w.1381 H.) dalam kitabnya Nail al-Hasanain.[3]
Jika demikian keadaannya, yaitu Muhammad bin Sulaiman wafat tahun 540 Hijriah,
maka akan sulit dapat diterima logika jika ia berhijrah dari Irak ke yaman pada
tahun 317 Hijriah bersama Ahmad bin ‗Isa, sebagaimana berita keluarga Ba‘alwi,
karena berarti ketika Muhammad bin Sulaiman itu wafat tahun 540 Hijriah umurnya
telah lebih dari 223 tahun. Dari kedua berita tahun hijrah itu pasti salah
satunya adalah salah. Pertanyaannya adalah mana di antara kedua berita itu yang
kemungkinan besar salah? tentu, jika kita membaca kembali tentang bahwa
keluarga Ba‘alwi ini sebenarnya hanya membonceng sejarah Bani Ahdal, maka
selaiknya yang harus diduga kuat salah atau dusta adalah tahun hijrah yang
bertitimangsa tahun 317 Hijriah. Dilihat dari urutan silsilah, jelas sekali
bahwa Muhammad bin
Sulaiman ini, satu generasi dengan ‗Ali Khaliqosam (w.529
H.), bukan dengan Ahmad bin ‗Isa (w.345 H.?). Hal itu dikuatkan, seperti yang
telah penulis sebutkan, Ahmad bin ‗Isa tidak pernah hijrah dari Basrah ke
Yaman, tidak ada satupun sumber sezaman atau yang mendekatinya yang bisa
dijadikan pegangan keluarga Ba‘alwi tentang berita tersebut. Bahkan berita
keberadaannya di Basrah saja, tidak bisa dibuktikan oleh sumber apapun. Adapun
nama Ahmad bin ‗Isa yang dikutip Muhammad Dhiya‘ Sihab dalam kitabnya Imam Ahmad almuhajir itu adalah
kesalahan dalam mengidentifikasi tokoh, ia bukan Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad
al-Naqib, tetapi ia adalah Ahmad bin ‗Isa bin Zaid seorang Imam Syi‘ah Zaidiah.
Jika ‗Ali Khaliqasam adalah orang yang berhijrah ke Tarim pada abad ke-6 H.,
lalu ia berhijrah dari mana? Menurut hemat penulis ia berhijarh dari India
melalui Mirbat. Pertama, karena pada abad ke-5 dan ke-6 Hijriah interaksi
masarakat Mirbat dan India sangat ramai karena adanya pelabuhan di sana. Yang
kedua, adanya berita Muhammad bin ‗Ali yang berada di Mirbat kemudian diberi
gelar ―Sahib Mirbat‖. Setelah sampai di Mirbat bersama ayahnya dan anaknya,
Muhammad bin ‗Ali wafat di Mirbat, lalu ayahnya, ‗Ali Khaliqosam hijrah bersama
cucunya, ‗Ali (ayah Faqih Muqoddam) ke Tarim. Hasil test Najwa
Sihab (tokoh perempuan
Indonesia keturunan Ba‘alwi)
mengkonfirmasi bahwa 48% fragmen DNA-nya berasal
dari India.[4]
Bersamaan dengan
semua hal di atas, Abdullah Muhammad alHabsyi, dalam footnote kitab Tuhfat
al-Zaman yang ia tahqiq, berusaha
mempertahankan narasi hijrahnya Ahmad bin ‗Isa di tahun 317 Hijriah itu. Ia
memberi catatan kaki redaksi Husain al-Ahdal yang menyebut bahwa leluhurnya
yang bernama Muhammad bin Sulaiman hijrah dari Irak ke Yaman. Abdullah Muhammad
al-Habsyi mengatakan: bahwa yang berhijrah itu bukan Muhammad bin Sulaiman
tetapi Muhammad bin Himham.[5]
Narasi aneh semacam itu diperlukan agar singkron narasi Ba‘alwi bahwa yang
berhijrah adalah
Ahmad bin ‗Isa, karena yang semasa dengan Ahmad bin
‗Isa adalah Muhammad bin Himham bukan Muhammad bin Sulaiman. Kita menyaksikan,
bahwa ia yang sejarahnya membonceng, kemudian mengatur bahkan mendominasi
runtutan sejarah yang diboncengnya itu. kita akan sering baca dalam tulisan
Abdullah Muhammad alHabsyi pada khususnya, dan penulis sejarah Ba‘alwi pada
umumnya, yaitu ketika sebuah data historis ditemukan tidak sesuai dengan
kesimpulan kesejarahan Ba‘alwi, maka data historis itu yang harus disesuaikan,
bukan sebaliknya. Bahkan, kita akan dapati adanya usaha-usaha interpolasi halus
dan kasar yang dilakukan para pentahqiq
Ba‘alwi terhadap kitab-kitab ulama yang mereka tahqiq. Dari itu, perlu kewaspadaan tinggi dan analisis kritis jika
membaca kitab karya Ba‘alwi atau kitab yang di-tahqiq mereka dalam sejarah dan genealogi mereka.
Ubaidillah dan Nama-Nama Fiktif dari Keluarga Ba’alwi Seperti diketahui di atas, bahwa silsilah
Ba‘alwi mengacu, pada mulanya, kepada silsilah Bani Ahdal. Sejarah mereka, pada
mulanya pula, membonceng sejarah Banu Ahdal. Dan seperti diketahui, bahwa
pengurutan silsilah Banu Ahdal, baru muncul di abad ke-9, yaitu ketika Husain
al-Ahdal menemukan kertas berisi dua versi dari silsilah mereka. Al-Janadi,
sejarawan Yaman, dalam Al-Suluk hanya
menyebut leluhur Bani Ahdal sebagai ―Syarif Husaini‖, tetapi ia tidak
menyebutkan urutan silsilah mereka kepada Nabi Muhammad Saw., sementara,
kitab-kitab nasab di abad ke-4 sampai ke-9 Hijriah tidak ada yang mencatat
keluarga Bani Ahdal sebagai keluarga Nabi
Muhammad Saw. maka silsilah keluarga Ba‘alwi pun,
sebagai silsilah yang dihasilkan dari cloning silsilah Bani Ahdal, sama
kedududkannya, yaitu sebagai silsilah yang dihasilkan dari kreasi, asumsi dan
interpretasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Nasib Bani
Ahdal lebih baik dari nasib Ba‘alwi karena sejarah Bani Ahdal telah
terkonfirmasi sudah eksis di abad ke-7 Hijriah ketika Al-Suluk mereportase seorang sufi yang ―ummi‖ (tidak dapat membaca
dan menulis) bernama ‗Ali bin Umar al-Ahdal dan menyebut leluhurnya sebagai
―Syarif Husaini‖, yang berhijrah dari Irak ke Yaman, sementara Ba‘alwi
(keluarga Abdurrahman al-Saqaf) pada abad ke-7 itu masih gelap gulita, tidak
ada satupun sejarawan atau ahli nasab yang mencatat mereka, apalagi tentang
hijrahnya sosok yang diakui sebagai leluhur mereka yaitu Ahmad bin ‗Isa, dari
Irak ke Yaman.
Kemudian,
keluarga Ba‘alwi mengkolaborasikan silsilah mereka yang versi Bani Ahdal dengan
silsilah Syarif Abil Jadid yang terdapat dalam kitab Al-Suluk. Penulis akan membawa pembaca untuk menganalisa silsilah
Ba‘alwi yang hari ini mereka akui, yaitu dari silsilah Syarif Abil Jadid versi
manuskrip Mesir, kemudian kita bandingkan dengan silsilah yang terdapat dalam
manuskrip versi Paris, dari situ kita akan dapat mengetahui sebenarnya ada
beberapa nama yang fiktif, baik dari keluarga Syarif Abil Jadid, maupun
keluarga Ba‘alwi.
Perhatikan gambar di bawah ini:
|
No |
Silsilah Jadid Versi manuskrip
Mesir tahun 877 H. |
Silsilah Jadid Versi manuskrip Paris tahun
822 H. |
Silsilah Ba’alwi versi cloning silsilah Jadid versi manuskrip Mesir |
Silsilah Ba’alwi versi cloning silsilah jadid versi manuskrip Paris |
|
1 |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhamad Saw. |
|
2. |
Fatimah |
Fatimah |
Fatimah |
Fatimah |
|
3. |
Husain |
Husain |
Husain |
Husain |
|
4. |
‗Ali Zainal |
‗Ali Zainal |
‗Ali Zainal |
‗Ali Zainal |
|
No |
Silsilah Jadid Versi manuskrip
Mesir tahun 877 H. |
Silsilah Jadid Versi manuskrip Paris tahun
822 H. |
Silsilah Ba’alwi versi cloning silsilah Jadid versi
manuskrip Mesir |
Silsilah Ba’alwi versi cloning silsilah jadid versi
manuskrip Paris |
|
5. |
Muhammad al- baqir |
Muhammad al-baqir |
Muhammad al- baqir |
Muhammad al- baqir |
|
6. |
Ja‘far al-Shadiq |
Ja‘far al- Shadiq |
Ja‘far al-Shadiq |
Ja‘far al-Shadiq |
|
7. |
‗Ali al-Uraidi |
‗Ali al-Uraidi |
‗Ali al-Uraidi |
‗Ali al-Uraidi |
|
8. |
Muhammad al- Naqib |
Muhammad al-naqib |
Muhammad al- naqib |
Muhammad al- naqib |
|
9. |
‗Isa |
‗Isa |
‗Isa |
‗Isa |
|
10. |
Ahmad |
Ahmad |
Ahmad |
Ahmad |
|
11. |
Abdullah |
|
Abdullah |
|
|
12. |
Jadid |
|
Alwi |
|
|
13. |
Muhammad |
|
Muhammad |
|
|
14. |
Jadid |
Jadid |
Alwi |
Alwi |
|
15. |
Ahmad |
Ahmad |
‗Ali (Kh‘Aliqosam) |
‗Ali (Kh‘Aliqosam) |
|
16. |
Muhammad |
Muhammad |
Muhammad (sohib Mirbat) |
Muhammad (Sohib Mirbat) |
|
17. |
Abul hasan ‗Ali (Syarif
Abul Jadid) |
Abul Hasan ‗Ali (syarif Abul jadid) |
‗Ali (ayah Faqih Muqoddam |
‗Ali (ayah faqih Muqoddam) |
Dari gambar itu,
dengan melihat perbandingan silsilah Ba‘alwi dengan silsilah Syarif Abil jadid,
kita mengetahui bahwa silsilah Syarif Abil Jadid versi manuskrip Mesir ada tiga
nama yang diduga kuat fiktif yaitu nomor 11, 12 dan 13 (Abdullah, Jadid dan
Muhammad), karena manuskrip yang lebih tua menyebutkan bahwa silsilah Syarif
Abul jadid adalah: Abul Hasan ‗Ali/Syarif Abul Jadid bin Muhammad bin Ahmad bin
Jadid bin Ahmad bin ‗Isa. Jadi, Jadid langsung berayah Ahmad bin ‗Isa. dari
sana, kita juga mengetahui bahwa silsilah Ba‘alwi juga seharusnya seperti itu,
yaitu: ‗Ali (ayah
Faqih Muqoddam) bin Muhammad (Sohib Mirbat) bin ‗Ali
(Khaliqosam) bin Alwi bin Ahmad bin ‗Isa. Jadi, Alwi kedua seharusnya langsung
berayah Ahmad bin ‗Isa, hal itu karena hakikatnya, silsilah Ba‘alwi itu hanya
kreasi hasil cloning dari silsilah Syarif Abul Jadid. Kenapa tiga nama itu
ditambahkan? Tiga nama itu ditambahkan untuk menutupi interval tahun yang tidak
masuk akal antara Syarif Abul jadid yang ditulis Al-Janadi wafat pada tahun 620
Hijriah, dengan tahun wafat Ahmad bin ‗Isa yang wafat pada tahun 345 Hijriah
(?). jarak antara keduanya mencapai 275 tahun yang memerlukan setidaknya enam
nama. Jika tidak ada penambahan tiga nama tersebut, maka jumlah nama antar
keduanya hanya tiga nama yang tentu akan dianggap aneh oleh pakar
genealogi.
Kesimpulan
dari hasil perbandingan antara nasab Ba‘alwi dan nasab Syarif Abul Jadid, ada
tiga nama dari silsilah Ba‘alwi yang fiktif dan ahistoris yaitu:
Abdullah/ubaidillah/Ubaid, Alwi pertama dan Muhammad. Tidak hanya sampai di
situ, ketika kita telusuri nama-nama dari mulai Alwi sampai Muhammad Maula
Dawilah, ayah dari Abdurrahman al-Saqaf, pun semuanya sunyi dari reportase para
pencatat nasab keturunan Nabi dan para sejarawan. Nama mereka dengan
kesejarahannya yang ―luar-biasa‖ itu, hanya ada dalam kitabkitab keluarga
Ba‘alwi mulai abad kesembilan Hijriah.
Glorifikasi Leluhur Ba’alwi
Klan Ba‘alwi,
mungkin salah satu klan yang banyak memproduksi kitab-kitab yang didalamnya
penuh berisi penguatan pengakuan mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw.
setidaknya ada 27 kitab yang ditulis yang memuat tentang penguatan silsilah
mereka itu. Tetapi kesemuanya akan bermuara kepada kitab abad sembilan yaitu Al-Burqat al-Musyiqat. Referensi mereka
akan mentok terputus di abad sembilan itu. Selain kitab Al-Burqat alMusyiqat, sebenarnya di abad sembilan itu, ada
kitab-kitab yang ditulis yang memuat silsilah mereka seperti kitab Al-Jauhar al-Syafaf yang katanya karya
Abdurrahman bin Muhammad al-Khatib, yang katanya pula wafat tahun 855 Hijriah.
Tetapi sosok Al-Khatib ini ―majhul‖ (tidak dikenal) oleh para penulis biografi
ulama. Bahkan informasi dari kitab Hadiyyat
al-Arifin karya Isma‘il Basya al-Babani, nama Abdurrahman bin Muhammad yang
menulis Al-jauhar al-Safaf, telah
wafat tahun 724 H.[6][7]
demikian pula yang disebutkan oleh Umar Rido Kahalah dalam kitab Mu‟jam al-Mu‟allifin.[8]
Bahkan, manuskrip yang sampai kepada kita hari ini adalah manuskrip baru yang
ditulis tahun 1408 H.
Rupanya, Abad
sepuluh dan sebelas Hijriah dihitung sebagai dua abad yang sangat penting bagi
klan Ba‘alwi untuk mempopularkan mereka sebagai keturunan Nabi. Ada sembilan
kitab yang ditulis untuk kepentingan itu yaitu: Al-Juz‟ al-Latif karya Abubakar bin Abdullah al-Idrus (w.914 H.).
Kitab ini kemudian ditemukan Ibnu Hajar al-Haitami setelah wafat penulisnya,
dan Ibnu Hajar mengutip banyak sekali silsilah sanad tarekat dan ‗lubsul
hirqat‘ (kain tarikat) dari kitab ini; kitab selanjutnya adalah Tarikh Sanbal karya Syaikh Sanbal (w.
960 H.). kitab ini diragukan oleh para pakar sebagai kitab abad ke-10 Hijriah,
dan sosok Syaikh Sanbal inipun diragukan pernah hidup di abad itu; kitab
selanjutnya adalah Al-Gurar karya
Muhammad ‗Ali Khirid Ba‘alwi (w.960 H.), kitab ini sangat dipengaruhi oleh
kitab Al-Burqat al-musiqat;
selanjutnya kitab Tiryaq al-Qulub
karya Umar bin Muhammad Basaiban (w.944), Al-Masra‟alRawi
karya Muhammad bin Abu Bakar al-Sili (w.1093 H.), Muhtasar al-Gurar karya Muhammad bin Abdullah al-Idrus (w.1031 H.),
Al„Iqd al-Nabawi karya Syaikh bin
Abdullah al-Idrus (w.1041 H.), Hidmat
al-Sadat Bani Alwi karya Abdulqadir bin Syekh al-Idrus (w.1038 H.), Al-Nur al-Safir karya Abdulqadir bin
Syekh al-Idrus (w.1038 H.). Semua kitab-kitab itu mempunyai pola yang mirip
dalam mengglorifikasi peran leluhur mereka, sayangnya semua sifat-sifat
kesejarahan yang ditulis dalam kitab-kitab itu tentang leluhur mereka tidak
terkonfirmasi sumber-sumber primer dan sekunder.
Kisah-kisah tentang
Ahmad bin ‗Isa, bahwa ia seorang ―imam‖ dan ulama tidak terkonfirmasi
sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya, demikian pula ketokohan
Ubaidillah. Dalam litaratur ulama Ba Alwi, Ubaidillah ditulis wafat tahun 383
Hijriah. Ia seorang Imam yang dermawan; seorang ulama yang “rasikh” (mendalam ilmunya); guru para ”Syaikul Islam”; pembuka kunci-kunci ilmu yang dirahasiakan; Tiada
ditemukan yang menyamainya (dizamannya).
Demikian sebagian yang ditulis ulama Ba‘alwi tentang
Ubaidillah hari ini.[9]
Anehnya, seorang ―Imam Besar‖, yang hidup di abad empat hijriah, sejarahnya
gelap gulita pada masanya. Tidak ada satu kitabpun membicarakannya. Jika ia
imam, tidak ada seorang pengikutnyapun mencatatnya. Jika ia guru para “Syaikhul Islam”, tidak ada seorang ”Syaikhul Islam”-pun menyebut namanya,
mengutip pendapat gurunya, bahkan walau hanya menulis namanya dalam silsilah
sanad keguruannya. Ia benar-benar ―orang besar‖ yang mastur dan misterius.
―imam besar‖ ini, hidup di Abad empat hijriah, katanya, ia lahir dan tumbuh
besar di Basrah, lalu umur duapuluh tahun hijrah bersama ayahnya ke Yaman. Di
Abad itu, di Basrah dan di Yaman, puluhan kitab ditulis, ratusan ulama hidup
bergaul satu dengan lainnya, namun, di antara mereka, seorangpun tidak mencatat
interaksinya dengan Ubaidillah. Kemanakah Ubaidillah sang ―Imam Besar‖ ini
bersembunyi? Nama Ubaidillah dan biografi hidupnya, baru muncul 512 tahun
setelah wafatnya. Sosoknya, pertama kali di munculkan oleh ‗Ali Al-Sakran (w.
895 H). Bukan hanya menyebut nama dalam rangkaian silsilah, Al-Sakran, bahkan,
telah berhasil mengungkap ketokohan Ubaidillah. Sesuatu yang tidak diketahui
oleh ulama yang hidup sezaman atau berdekatan dengan Ubaidillah. Ia dapat
diketahui oleh Al-Sakran tanpa sumber-sumber pendukung apapun. Al-Sakran adalah
pioneer dalam meruntut ―sejarah‖ Ubaidillah, dan sukses menjadikannya sebagai
sosok ―menyejarah‖.
Demikian pula tokoh lain dalam silsilah Ba‘alwi
seperti Alwi pertama, Muhammad dan Alwi kedua, sosoknya yang begitu punya peran
penting dalam redaksi kitab-kitab Ba‘alwi, tidak terkonfirmasi sumber-sumber
sezaman atau yang mendekatinya, semuanya kembali kepada kitab Al-Burqat al-Musyiqat di abad ke-9
Hijriah.
Muhammad bin ‗Ali (w.556 H.) yang
diberi gelar ―Sohib
Mirbat‖ oleh penulis Ba‘alwi. Sosoknya ditulis oleh
Muhammad bin ‗Ali Khirid Ba‘alwi sebagai ―ima>man mutqinan‖ (imam yang
menguasai ilmu dengan dalam); ―wahidu asrihi fi al-ilmi wa al-‗amal‖ (paling
berilmu dan beramal di masanya).[10]
Tetapi sosoknya sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama baik ulama nasab
maupun ulama sejarah dan ―tabaqat‖ (biografi ulama). Alwi bin Tahir dalam kitab
Uqud al-Almas mengatakan bahwa
Muhammad ―Sahib Mirbat‖ adalah penyebar Madhab Syafi‘I di Hadramaut, Difar dan
Yaman dan para ulama-ulama di Mirbat adalah murid-murid Muhammad ―Sahib Mirbat.[11][12]
Berita semacam itupun tidak bisa dikonfirmasi oleh sumber-sumber sezaman atau
yang mendekatinya. Berbeda dengan ulama di Mirbat lainnya yang terkonfirmasi
kitab-kitab sezaman atau yang mendekatinya, seperti Muhammad bin ‗Ali al-Qol‘iy
(w.577 H.), dari tahun wafatnya kita melihat bahwa ia hidup sezaman dengan
Muhammad ―Sahib Mirbat‖. Al-janadi dalam Al-Suluk
menyebut ulama-ulama di Mirbat itu adalah murid-murid Imam al-Qol‘iy.[13]
AlJanadi banyak menyebut nama-nama ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut
ada seorang ulama di Mirbat bernama Muhammad ―Sahib Mirbat‖. Begitupula Ibnu
Samrah al-Ja‘diy (w.587 H.) dalam kitabnya Tabaqat
Fuqaha al-Yaman ia menyebut nama Imam al-Qol‘iy sebagai ulama di Mirbat,
tetapi ia tidak menyebut nama Muhammad ―Sahib Mirbat‖.[14]Bahkan,
gelar Sohib Mirbat, terkonfirmasi bukan gelar untuk Muhammad bin ‗Ali, tetapi
ia adalah gelar yang diberikan kepada Penguasa di Kota Mirbat yang bernama
Muhammad bin Ahmad al-Ak-hal al-Manjawi. ia adalah sosok historis yang hidup
satu masa dan satu kota dengan Muhammad bin ‗Ali ―Sahib Mirbat‖ Ba‘alwi.
Al-Akhal adalah penguasa terakhir Kota Mirbat dari Dinasti al-Manjawi. Muhammad
al-Akhal Sohib Mirbat disebut al-Akhal karena memakai celak dimatanya atau
karena matanya ada tanda hitam sejak lahir. Ibnul Atsir, pakar sejarah abad
ke-7 dalam kitabnya Al-Kamil fi al-Tarikh
menyebutkan bahwa di tahun 601 Hijriah, Muhammad al-Akhal Sohib Mirbat, digantikan
oleh mantan menterinya yang bernama Mahmud bin Muhammad al-Himyari.[15]
Sementara Muhamad bin ‗Ali Ba‘alwi, namanya tidak tercatat sebagai apapun,
dengan gelar ataupun tanpa gelar. Dengan disebut ulama ataupun bukan. jika ia
benar-benar sosok historis, kemana ia bersembunyi di Kota Mirbat, sampai ulama
pengarang kitab sejarah tak mencatatnya, padahal ulama lainnya tercatat dalam
sejarah Mirbat?
Keberadaan
makam Muhammad bin ‗Ali ―Sohib Mirbat‖ hari ini pun patut kita telusuri
keasliannya. Benarkah makam itu ada di
Mirbat sejak abad ke-6 Hijriah? Makam Muhammad ―Sohib
Mirbat‖ hari ini mempunyai batu nisan dengan ukiran yang bagus. Inskripsi batu
nisan itu berangka tahun 556 Hijriyah. Apakah benar batu nisan itu dibuat tahun
556 H? Di Yaman, abad ke enam belum dikenal seni pahat batu. Hal tersebut
difahami dari bahwa para raja yang berkuasa di Yaman pada abad enam dan
sebelumnya, dari Dinasti Al-Manjawih dan dinasti Al-Habudi, makamnya tidak ada
yang berbatu nisan dengan pahatan kaligrafi. Bagaimana ―orang biasa‖ nisannya
berpahat indah dengan harga yang mahal, jika rajanya saja tidak? Raja pertama
yang makamnya berbatu nisan dengan pahatan indah
adalah Raja AlWatsiq Ibrahim dari dinasti Rasuli yang wafat pada tahun 711 H.
batu nisan itupun bukan produksi Yaman, tetapi di impor dari India. Bayangkan
abad ke-8 saja, batu nisan raja Yaman harus di impor dari India, bagaimana
duaratus tahun sebelumnya makam Sohib Mirbat sudah mempunyai batu nisan yang
sama indahnya. Pada akhir abad ke-8 Dinasti Rasuli kemudian membawa para
pengarjin pahat dari India untuk membuat nisan. Dari situlah awal mula banyak
raja, ulama dan orang kaya, batu nisannya memiliki pahatan dan ukiran. Hal itu
bisa dibuktikan dengan bahan jenis batu yang berbeda antara batu pahatan Raja al-Watsiq
dan pahatan batu nisan selanjutnya. Dimana, struktur dan jenis batu Raja
Al-Watsiq berasal dari daerah India, sedangkan jenis batu dari nisan lainnya
adalah batu lokal dari Yaman.
Batu Nisan Muhammad ―Sohib Mirbat‖, dapat di yakini
baru dibuat pada abad Sembilan atau sesudahnya, berbarengan dengan kontruksi
nasab Ba Alwi yang secara formal ditulis oleh ‗Ali al-Sakran.
Sejarah Muhammad bin ‗Ali yang
kemudian diberi gelar ―Al-
Faqih al-Muqoddam‖ oleh penulis-penulis Ba‘alwi,
kesejarahannya juga tidak tereportase para ulama sezaman. Muhammad Diya‘ Sahab
dalam Hamisy Syams al-Dahirat
menyebutkan tentang Faqih Muqoddam: Ia adalah salah seorang yang paling
popular; ia seorang ulama besar yang berhasil mengumpulkan ilmu dan amal; ia
adalah ulama yang telah laik berijtihad karena telah mencapai derajat ilmu
riwayat dan ilmu logika. Karena itulah ia bergelar ―Al-Faqih alMuqoddam‖
(Rajanya ahli fikih) dan ―Al-Ustad al-A‘zom‖ (guru besar). Tidak ada ulama
sebelumnya yang bergelar seperti dia; Ia adalah seorang “Al-muhaddits” (ahli hadits),
“Al-Mudarris” (dosen), mursyid
tarekat, dan juga seorang “mufti”
(ahli fatwa). Ia adalah tempat berlindung bagi orang lain.[16]
Lalu, apakah ulama-ulama pada zamannya mereportase sosoknya sebagai sosok
kesejarahan yang luar biasa seperti disebutkan itu? Sayang, sosok Faqih
Muqoddam ini sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama sezaman sebagaimana
fenomena kesejarahanya hari ini yang kita kenal yang penuh dengan
keluarbiasaan. Sosoknya sunyi di tengah masifnya kitab-kitab ulama yang ditulis
di masa itu. Jangankan di dunia Islam secara luas, di sekitar Yaman saja,
namanya di masa itu tidak terkonfirmasi. Kitab Al-Suluk dan kitab Tabaqat
Fuqaha al-Yaman pun tidak menulis namanya. Namanya muncul, berbarengan
dengan kemunculan nasab Ba‘alwi dalam kitab Al-Burqat
al-Musyiqat.
Interpolasi dan Moral Ilmiyah Ba’alwi
Kajian literasi nasab Ba‘alwi
yang penulis lakukan mengarah kepada kesimpulan adanya pola dan algoritma dari
sebuah kontruksi sejarah yang sengaja diciptakan bukan berdasar fakta sejarah
sesungguhnya. Historiografi dari sebuah hipotesa dari sebuah komunitas tertentu
yang memiliki irisan dengan kepentingan tertentu, patut dicurigai validitasnya.
Yusuf jamalulail men-tahqiq kitab Abna‟ al-Imam fi Mishra wa Syam al-Hasan wa
al-Husain. Kitab tersebut karya Ibnu Tabataba. Mengenai hari wafatnya
pengarang ini, pentahqiq atau
penerbit memuat dua angka tahun wafat pengarang. Dalam halaman ketujuh disebut
wafat tahun 199 H. dalam halaman lain disebut 478 H. Dan dalam cover ditulis
tahun 478 Hijriah. Kitab ini bisa disebut palsu karena kitab ini tertulis
dengan judul Abna‟ alImam, namun
isinya bukan semata kitab tersebut, namun telah diinterpolasi (tambah) kalimat
para penyalin dan pen-tahqiq. Kitab
ini isinya telah diinterpolasi oleh 4 orang yaitu: Ibnu Shodaqoh al-Halabi (w.
1180 H.), Abul Aon As-Sifarini (1188 H.), Muhammad bin Nashar al-Maqdisi (w.
1350 H.) dan Yusuf jamalullail (1938 M). Tambahan itu tidak diberikan pembeda,
jadi seakan seluruh isi kitab itu karya pengarang yang asli yaitu Ibnu
Tabataba. Dalam kitab itu, nama Ubaidillah disebut anak Ahmad. Namun kalimat
itu jelas bukan dari kalimat pengarang kitab.
Kitab Tarikh Hadramaut, atau disebut juga kitab Tarikh Sanbal, karena ia karya Syekh Syanbal Ba‘alwi (w. 920 H),
didalamnya, diantaranya, menerangkan tentang bahwa Al-Fakih al-Muqoddam adalah
seorang “Al-‟Alim al-Robbani” (ulama
yang menguasai seluruh ilmu), “„umdat
al-muhaqiqin‖ (tumpuan para ahli tahqiq), dan salah seorang wali kutub.
Kitab ini dicetak oleh Maktabah San‘a alAtsariyah tahun 1994 M/1414 H, di-tahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi.
kitab ini dicurigai menjiplak dari kitab Tarikh
Ibnu Hisan, terlebih Syekh Sanbal adalah orang yang tidak dikenal para
ulama, sepertinya naskah tersebut baru saja disalin dan penulisnya tidak hidup
pada abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana disebutkan oleh pentahqiq, Abdullah Al -Habsyi. Kemudian
kitab Al-Baha fi Tarikh
Hadramaut,
karya Abdurahman bin ‗Ali bin Hisan (w. 818 H), ditahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi, diterbitkan oleh Darul
Fatah tahun 2019. Kitab ini merupakan kronik sejarah Hadramut dari tahun 424
-926 Hijrah, menurut pengakuan pen-tahqiq-nya,
dicetak dari manuskrip yang tidak lengkap. Ada beberapa tahun yang hilang, lalu
pen-tahqiq melengkapinya dari kitab Tarikh Sanbal yang terindikasi palsu di
atas.. Kendati ada pengakuan bahwa kitab yang ditahqiq-nya itu ada tambahan, tetapi Al-habsyi tidak memberi pembeda
mana redaksi asli dari manuskrip kitab Al-Baha,
dan mana redaksi yang merupakan tambahan dari pentahqiq. Dalam kitab ini
disebutkan bahwa Fakih Muqoddam wafat tahun 652 H.,[17]
seakan benar sosok Faqih Muqoddam itu telah dicatat penulis sejarah, tetapi
ketika dilihat dalam footnote-nya,
Abdullah Al-Habsyi menyatakan bahwa informasi tentang wafatnya Faqih Muqoddam
itu tidak disebut dalam manuskrip ―hamzah‖ (أ) karena kertasnya
rusak, seakan ia ingin mengatakan bahwa yang berada dalam versi cetak itu
berasal dari manuskrip ―ba‖ (ب), padahal manuskrip kitab Ibnu Hisan itu
hanya ada satu dan itupun tidak lengkap. Apabila ia pen-tahqiq yang jujur, maka seharusnya ia biarkan tempat itu tanpa
keterangan, tidak kemudian ia isi sendiri sesuai dengan kemauan dan
kepentingannya. Oleh karena itu, kitab ini tidak bisa menjadi rujukan
sebagaimana kitab Abna‟ al-Imam.
Kitab Al-Imam al-Muhajir, ditulis oleh Muhamad Dhiya Syihab dan Abdullah
bin Nuh. Kitab ini terdiri dari sekitar 244 halaman, diterbitkan oleh penerbit
Dar al-Syarq tahun 1400 H/1980 M. kitab ini merupakan biografi dari Ahmad bin
‗Isa yang oleh kalangan Ba‘alwi kemudian di berikan gelar ―Al-Muhajir‖. Kitab
ini di awali dengan mengutarakan keadaan Kota Basrah abad ke-4 yang gemilang
dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Latar belakang sejarah ini dipetik dari
referensi sejarah yang kredibel seperti kitab-kitab karya Ibnu Khalikan, Ibnul
Atsir, Al-Mas‘udi, Ibnu Jarir, Al-Sayuti dan sebagainya. Tetapi, ketika
menjelaskan tentang biografi dari Ahmad bin ‗Isa sendiri, penulisnya tidak
mencantumkan refernsi dari mana ia mendapatkan berita itu. Seperti ketika ia menyebutkan
bahwa Ahmad bin ‗Isa mulai belajar dari kedua orangtuanya. Tentu semua anak
akan belajar dari kedua orangtuanya. Ini masih bisa difahami walau tanpa
referensi. Kemudian dilanjutkan, bahwa Ahmad bin ‗Isa gemar menuntut ilmu dari
para ulama, baik di Basrah maupun di kota-kota lainnya di Irak. Penjelasan ini
seharusnya sudah menyebutkan siapa ulama-ulama yang didatangi oleh Ahmad bin
‗Isa, dan dari mana penulis kitab ini mengetahui berita itu, namun paragraph
ini tanpa referensi, agaknya ia keluar dari imajinasi penulis tentang banyaknya
ulama di Irak waktu itu, dan asumsi bahwa kemungkinan besar itulah yang
dilakukan remaja seusia Ahmad bin ‗Isa ketika berada di lingkungan para ulama.
Referensi kemudian disebutkan pada paragraph yang lain, diambil dari kitab Saurah al-Zanji, yaitu ketika
menerangkan bahwa Basrah ketika itu merupakan pusat pemikiran yang besar. Kota
tempat bersinggungannya berbagai macam ‗Aliran filsafat, keyakinan dan
pemikiran. Rupanya, penulis kitab ini sangat bersusah payah mencari sosok Ahmad
bin ‗Isa dalam kitab-kitab sejarah atau kitab lainnya. Ketika menemukan nama
Ahmad bin ‗Isa, lalu tanpa diteliti lebih lanjut, langsung saja diambil.
kesalahan fatalpun terjadi, ketika mengutip sosok Ahmad bin ‗Isa yang terdapat
dalam kitab Tarikh Bagdad, disebutkan
dalam kitab itu: Ibnu Jarir al-
Tabari menerima surat dari Ahmad bin ‗Isa al-Alwi dari Kota
Bashrah, lalu Ibnu Jarir membalasnya dengan kalimat ―wahai
amirku‖. Penulis kitab ini kemudian menyatakan: cukuplah untuk mengetahui betapa
agung kedudukan Ahmad bin ‗Isa, dari penyebutan Ibnu jarir terhadapnya ―wahai
amirku‖. Penulis tidak teliti, atau purapura tidak mengerti, bahwa Ahmad bin
‗Isa al-Alwi yang dimaksud dalam kitab Tarikh Bagdad itu, bukanlah Ahmad bin
‗Isa al-Naqib, tetapi sosok lain, yaitu Ahmad bin ‗Isa bin Zaid. Lalu tentang
hijrahnya Ahmad bin ‗Isa ke Hadramaut, penulis kitab ini sama sekali tidak
menyebutkan sumber, kecuali dari majalah Al-Rabitah tulisan
‗Ali bin Ahmad al-Athas. Kejadian tahun 317 Hijriah
diceritakan oleh orang yang hidup seribu tahun lebih setelah wafatnya, dengan
tanpa sumber dari mana ia mengetahui berita itu. Pola penulisan seperti itu,
kita jumpai dalam kitab tersebut pada halaman-halaman selanjutnya sampai akhir
kitab.
Kitab Gurar al-Baha al-Dhau‟I wa Durar al-jamal al-Bahiy, yang lebih
dikenal dengan nama kitab Al-Gurar,
karya Muhammad bin ‗Ali Khirid Ba‘alwi (w. 960 H), diterbitkan oleh Maktabah
alAzhariyah, tahun 2022, tanpa pen-tahqiq.
Dalam kitab ini disebutkan bahwa Ahmad bin ‗Isa hijrah dari Irak ke Hadramaut
tahun 317 H. penyebutan itu tidak bersumber referensi apapun. Cerita tentang
orang di masa lalu tanpa adanya sumber disebut dengan ―dongeng‖.
Disebutkan pula, bahwa Ahmad bin ‗Isa mengungguli
teman-temanya dalam kebaikan, untuk kisah ini dan sebab hijrahnya Ahmad bin
‗Isa, Al-Gurar mengutip dari kitab Al-Jauhar al-Syafaf, kitab karya
alKhatib yang telah penulis sebut sebagai kitab yang tidak laik dijadikan
rujukan karena penulisnya tidak jelas. Dilihat dari segi isi pun, kitab itu
penuh dengan cerita-cerita dusta. Dapat dikatakan, kitab Al-Gurar ini, mengenai nasab dan sejarah Ba‘alwi, bersumber pokok
kepada satu kitab abad Sembilan, yaitu: Al-Burqat
al-Musyiqat karya alSakran (895 H), ditambah kitab Al-Jauhar al-Syafaf (855 H) yang problematis itu.
Kitab Uqud al-Almas,
karya Alwi bin Tahir bin Abdullah al-
Haddad, diterbitkan oleh Matba‘ah al-Madani tahun
1388 H/1968 M. kitab ini merupakan biografi dari Ahmad bin Hasan al-Athas.
Ketika menjelaskan tentang nasab Ba‘alwi, kitab inipun mentok kepada kitab Al-Jauhar al-Syafaf . Tidak bisa mencari
yang lebih tua agar ketersambungan itu masuk akal. Dalam kitab inipula,
disebutkan bahwa nasab Ba‘alwi telah di itsbat oleh Raja Yaman pada tahun 1351
H, sekitar 90 tahun yang lalu. Peng-itsbat-an
itu, menurut kitab ini, setelah timbulnya celaan dari orang-orang khawarij akan
nasab mereka. Dari sini diketahui, setidaknya telah beberapa kejadian keraguan
dan gugatan kaum muslimin terhadap nasab Ba‘alwi yang dapat dibaca dari
kitab-kitab Ba‘alwi sendiri. Bersamaan dengan itu, Ba‘alwi selalu dapat
melewatinya dengan meminta secarik kertas itsbat dari orang atau lembaga yang
mau membantunya. Zaman dahulu itu, untuk keraguan nasab akan berakhir dengan itsbat demikian, karena ilmu genetika
belum mapan. Hari ini, setiap persengketaan nasab akan dapat dikonfirmasi
dengan melakukan tes DNA yang akan dapat menelusuri sambungan darah seseorang
sampai ribuan tahun ke atas. Maka ketika hari ini Ba‘alwi telah terbukti putus
nasabnya kepada Nabi Muhammad Saw secara kajian pustaka, jika mereka bergeming
bahwa nasab mereka tersambung, untuk membuktikannya tidak ada jalan lain
kecuali tes DNA. Jika kajian pustaka gagal, tes DNA enggan, lalu berdasar apa
kita harus mengakui mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw.?
Kesimpulan
Nasab Ba‘alwi terbukti tidak tersambung
kepada Nabi Muhammad Saw. Hari ini mereka mengaku sebagai keturunan Nabi
melalui jalur Ubaidillah ―bin‖ Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad alNaqib, sementara
kitab nasab mulai abad ke-5 sampai abad ke-9 menyatakan bahwa Ahmad bin ‗Isa
tidak mempunyai anak bernama
Ubaidillah atau Abdullah. Anak Ahmad bin ‗Isa hanya tiga
yaitu: Muhammad, ‗Ali dan Husain. Mereka juga tidak dapat membuktikan bahwa
Ahmad bin ‗Isa hijrah dari Basrah ke Yaman. Tidak ada berita dari sumber-sumber
sezaman atau yang mendekatinya yang menyatakan ia hijrah ke Yaman, seperti juga
tidak ada bukti bahwa
Ahmad bin ‗Isa pernah tinggal di Basrah. Ahmad bin
‗Isa tereportase kitab abad ke-5 berada di Madinah bersama ‗Ali Abul Hasan
alAskari. Hasil test Y-DNA dari 180 sampel Ba‘alwi tidak ada yang presisi sebagai keturunan lurus
laki-laki dari Husein (J1-FGC30416) bin ‗Ali (FGC10500). Jangankan menemukan
kedua Haplotype di atas, haplogroup Ba‘alwi malah bukan J1 tetapi G. Artinya,
selain gagal sebagai keturunan garis lurus laki-laki Nabi Muhammad Saw., malah
terdeteksi bukan keturunan garis laki-laki Nabi Ibrahim As.
DAFTAR
PUSTAKA
‗Ali bin Abu Bakar al-Sakran, Al-Burqat al-Musiqat, (Matba‘ah ‗Ali bin
Abdurrahman bin Sahl Jamalullail Ba‘alwi, Mesir, 1347 H.)
‗Ali bin Muhammad bin ‗Ali bin
Muhammad al-Alwi al-Umari, AlMajdi fi
Ansab al-T‟Alibin, (Maktabah Ayatullah al-Udma alMar‘asyi, Qum, 1422
H.)
Abdurrahman Al-Mashur, Shmsu al-Dahirat, (‗Alam al-Ma‘rifat,
Jeddah, 1404 H.)
Abu al-Faraj al-Asfihany, Maqatil al-T‟Alibiyyin (Dar al-ma‘rifah,
Beirut, T.t.) .
Abu Bakar bin Abil Qasim bin
Ahmad al-Ahdal, Al-Ahsab al-‟Aliyyah fi
al-Ansab al-Ahd‟Aliyyah (T.pn. T.tp. T.t.)
Abu Ismail Ibrahim bin Nasir
ibnu Thobatoba, Muntaqilat alT‟Alibiyyah (Matba‘ah
Al-Haidarah, Najaf, 1388 H.)
Abu Ja‘far Muhammad bin al-Hasan
al-Tusi, Al-Gaybah, (Muassasah
Al-Ma‘arif al-Islamiyah, Qum, 1425 H.)
Abu Muhammad al-Tayyib Abdullah
bin Ahmad Ba Makhramah,
Qaladat
al-Nahr Fi Wafayyat A‟yan al-Dahr (Dar al-Minhaj, Jeddah, 1428 H.)
Abubakar bin Abdullah
al-Idrus, Al-Juz‟ al-Latif, dalam
Diwan al-‗Adni (Dar al-Hawi, libanon, 1432 H.) .
Ahmad ‗Ali bin ‗Abdul Qadir bin Muhammad al-Muqrizi
al-Syafi‘I manuskrip kitab Al-Turfat
al-Garibat min Ahbar Wadi Hadrmaut al-„Ajibat
Ahmad bin Hasan al-Muallim, Al-Quburiyah fi al Yaman (Dar ibn
aljauzi, Al-Mukalla, 1425H)
Al-Hamadani, Al-Iklil
(Al-Maktabah al-Syamilah, T.tp. T.t.)
Al-Husain bin Abdurrahman bin
Muhammad al-Ahdal, Tuhfat al-
Zaman fi Tarikh Sadat al-Yaman (Maktabah al-Irsyad, San‘a, 1433
H.)
Al-janadi, Al-Suluk Fi Tabaqat al-Ulama Wa al-Muluk, (Maktabah Dar al-Irsyad,
San‘a, 1416 H)
Al-Khatib al-Bagadadi, Tarikh Bagdad, (Dar al-Garbi al-Islami,
Beirut, 1422 H.)
Al-Syatiri, Adwar al-Tarikh al-Hadramiyyah ( Maktabah Tarim alHaditsah, Tarim,
1403)
Alwi bin Tahir al-Haddad,
Footnote Uqud al-Almas (Matba‘ah
Almadani, Cet. Ke-2, T.tp. 1388 H.)
Alwi bin tahir, Uqud al-Almas (Matba‘ah al-Madani, Syari‘ al‗Abasiyah, 1388
H.)
Fakhruddin al-Razi, Al-Syajarah al-Mubarakah (Maktabah
Ayatullah al-Udma al-Mar‘ashi, Qum, 1419 cet. Ke-2)
Ibn al-
A‘raj al-Husaini, Al-Sabat al-Musan
(Maktab Ulum al-Nasab, Tahqiq H‘Alil bin Ibrahim bin Halaf al-Dailami
al-Zabidi, T.t.
T.Tp.)
Ibnu al-Nadim, Al-Fihrasat,
(Dar al Ma‘rifat, Beirut, 1417)
Ibnu Hajar al-Asqolani, L‟Isan al-Mizan (Mu‘assasat al-A‘lami
Lil alMatbu‘at, Beirut, 1390 H. )
Ibnu Hazm Al-Andalusi, Jamharat Ansabil Arab, (Dar al-Ma‘arif,
Kairo, T.t.) cet. Ke-5
Ibnu HIsan, Al-Baha‟ fi Tarikh Hadramaut (Dar
al-Fatah, Oman, 1441 H.)
Ibnu Inabah, Umdat al-T‟Alib, (Maktabah Ulum
al-Nasab, Tahqiq Muhammad Sadiq al-Bahr al-Ulum, Iran, T.t.)
Ibnul Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh (]Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
1407 H.)
Ismai‘il Basa al-babani, Hadiyat
al-„Arifin Asma‟ al-Mu‟allifin wa Asara al-Mushanifin (Maktabah
al-islamiyah Al-ja‘fari, Teheran, 1959 M)
Jajat Burhanuddin, Diaspora Hadrami di Indonesia, (Studia
Islamika, Vol. V No. 1 1999)
Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim
dalam Sejarah Indonesia, (Mizan, Jakarta, 2012)
Jasir Hadibroto dan Eksekusi Mati D.N. Aidit, dalam Tirto.id.( https://tirto.id/cPvz)
L.W.C. Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, judul
asli: Le Hadramaut et Les Colonies Arabes
Dan I‟Achipel Indien (INIS, Jakarta, 1989)
M. Adil Abdullah, Tgk Imuem Lueng Bata Ultimatum Habib Abdurrahman Az Zahir, (Catatan
Aceh yang Tercecer), http://www.serambinews.com/news/catatan-aceh-yang-tercecer
Mahdi al-Roja‘I, Al-Mu‟qibu>n Min Al Abi Ta>lib
(Mu‘assasah Ashura, Qum, 1427 H) h. 14
Masa‟ilu Abi Ja‟far wa Mustadrakatuha, (Muassasah Al al- Bait
‗Alihim al-Solat wa al-Salam, Beirut, 1431 H.)
Muhammad bin ‗Ali bin Alwi Khirid,
Gurar al-Bah>a‟ al-Dawiy wa Durar
al-Jama>l al-Badi>‟I al-Bahiy (T.pn. T.tp., 1405 H.)
Muhammad bin Abu Bakar al-Shili, Al-Mashra‟ al-Rawi, (T.pn. T.tp. 1402
H.)
Muhammad bin Muhammad bin yahya
bin Abdullah bin Ahmad bin
Ismail bin Husain bin Ahmad Zabarat al-Son‘ani, Nail alHasanain bi Ansab min al-Yaman min
Buyut Itrat al-Hasanain, dicetak bersama Al-Anba‘ min Daulat Bilqis wa Saba
(Maktabah al-Yaman al-Kubra, Son‘a, 14014 H.)
Muhammad Diya Shihab, Al-Imam Ahmad al-Muhajir (Dar al-Syuruq,
T.tp. 1400 H.)
Murtada
al-Zabidi, Al-Raud al-jaly (Dar
al-Fath, Oman, 2021 M)
Sayid Azizuddin Abu Tholib Ismail bin
Husain al-Mawarzi alAzwarqani, Al-Fakhri
fi ansaabitholibin (Maktabah Ayatullah al-Udma, Qum, 1409 )
Sayid Komunis yang Diburu Tentara Baret Merah, dalam Tirto.id. (
https://tirto.id/chz3)
Shofiyuddin Muhammad ibnu
al-Toqtoqi al-Hasani, Al-Asili fi
Ansabittholibiyin (Matba‘ah Ayatullah al-Udma, Qum, 1318)
Simpang Siur
Kabar DN Aidit Keturunan Rasulullah,
(https://republika.co.id/berita/selarung/breakinghistory/pi8mbw282/simpang-siur-kabar-dn-aidit-keturunanrasulullah-part1).
Tes DNA, Najwa Shihab Terkejut Gen Arab di
Dirinya Hanya 3,4
Persen, dalam
Kompas.com
https://amp.kompas.com/entertainment/read/2019/10/18/051800
310/tes-dna-najwa-shihab-terkejut-gen-arab-di-dirinya-hanya34-persen
Tim Peduli
Sejarah Islam Indonesia, Tubagus M. Nurfadil Satya (ed.), Sejarah Ba Alwi Indonesia: Dari Konflik Dengan Al-irsyad
Hingga Dengan
Keluarga W‟Alisongo (Tim peduli Sejarah Indonesia, Serang)
Umar bin ‗Ali bin Samrah al-Ja‘diy, Tabaqat Fuqaha al-Yaman (Dar al-Qalam, Beirut, T.t.) h. 220 Umar
Rida Kahalah, Mu‟jam al-Mu‟allifin (Mu‘asasat
Al-r‘Isalat, T.tp. 1376 H.)
[1]
Al-Husain al-Ahdal…juz 2 h. 238
[2] Al-janadi… juz 2 h. 361
[3] Muhammad bin Muhammad bin
yahya bin Abdullah bin Ahmad bin
Ismail
bin Husain bin Ahmad Zabarat al-Son‟ani, Nail
al-Hasanain bi Ansab min al-Yaman min Buyut Itrat al-Hasanain, dicetak
bersama Al-Anba‟ min Daulat Bilqis wa
Saba (Maktabah al-Yaman al-Kubra, Son‟a, 14014 H.) h. 121
[4] Tes DNA, Najwa Shihab
Terkejut Gen Arab di Dirinya Hanya 3,4 Persen, dalam Kompas.com
https://amp.kompas.com/entertainment/read/2019/10/18/051800310
/tes-dna-najwa-shihab-terkejut-gen-arab-di-dirinya-hanya-34-persen
[5] Abdullah Muhammad
al-habsyi, dalam Al-Husain bin Abdurrahman bin Muhammad al-Ahdal, Tuhfat
al-Zaman fi Tarikh Sadat al-Yaman
(Maktabah al-Irsyad,
San‟a, 1433 H.) footnote juz 2 h. 238
[6] Ismai‟il Basa al-babani, Hadiyat al-„Arifin Asma‟ al-Mu‟allifin wa
Asara alMushanifin, (Maktabah al-Islamiyah al-Ja‟fari, Teheran, 1959 M)juz
1 h.
[7] .
[8] Umar Rida Kahalah, Kitab Mu‟jam al-Mu‟allifin, (Mu‟asasat
Al-r‟Isalat, T.tp. 1376 H.) juz 5 h. 178
[9] lihat „Ali al-Sakran…h.136
dan Al-Masyra‟ al-Rawi juz 1 h.75
[10] Muhammad bin „Ali Khirid…
h. 131
[11]
Alwi bin tahir, Uqud al-Almas
(Matba‟ah al-Madani, Syari‟ al-„Abasiyah,
[12] H.) juz 2 h.104
[13] Al-janadi…juz 2 h. 170
[14] Umar bin „Ali bin Samrah
al-Ja‟diy, Tabaqat Fuqaha al-Yaman
(Dar al-
Qalam, Beirut, T.t.) h. 220
[15] Ibnul Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh (]Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1407 H.) juz 10 h. 203
[16] lihat Muhammad Diya‟ Sahab
dalam Abdurrahman Al-Mashur, Shmsu
al-Dahirat, („Alam al-Ma‟rifat, Jeddah, 1404 H.) h. 77.
[17] Ibnu H‟Isan, Al-Baha‟ fi Tarikh Hadramaut (Dar
al-Fatah, Oman, 1441 H.) h. 125

Posting Komentar untuk "LANJUTAN BAGIAN EMPAT: Kitab Tabaqat al-Khawash Menjadi Saksi Upaya Singkronisasi Nasab Ba’alwi"
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...